Menjejak di Kampung Arab Palembang

Menjejak di Kampung Arab Palembang

Kota Pelembang adalah  3 dari kota besar di Indonesia yang hampir selalu saya datangi sepanjang 20 tahun ini. Apalagi sejak saya menikah dengan lelaki Palembang. Otomatis semakins ering main ke Palembang.


Kalo dulu saya sering ke Palembang, main ke rumah keluarga ipar saya dan kakak tiri saya. Mereka memang sudah lama menetap di kota Pelembang. Bahkan sudah beranak pinak, banyak sekali jumlah keluarga yang tinggal di Palembang.

Selain sungai Musi yang selalu saya dan keluarga lihat jika ke Palembang, ada banyak tempat lainnya yang juga biasa kami kunjungi. Selain wisata belanja yang membius. Mall dan pusat perbelanjaan yang banyak, besar dan lengkap di berbagai sudut kota Palembang. Membuat saya dan keluarga tidak pernah melewatkan kesempatan belanja.

Saat anak-anak mulai besar, kami pun sering mengunjungi berbagai pusat permainan anak. Dari yang basah hingga kering, kami datangi. Arena bermain basah yang paling sering kami datangi bersama anak-anak adalah kolam renang. Apalagi yang ada waterboomnya. Kolam renang kayak gini, wajib kami datangi kalo sedang di Palembang.

Memang kalo melakukan perjalanan bersama anak-anak, mau ngak mau kita orang tua harus ngalah sama keinginan mereka. Akhirnya pun kita berwisata ke tempat-tempat yang ramah anak, nyaman dan tentu saja nggak bikin bete apalagi capek.

Akhirnya selama kurun waktu tersebut, saya sendiri jarang banget meng-eksplore wisata kota Palembang. Beruntung banget saya akhirnya mengikuti kegiatan kece Dinas Pariwisata Kota Palembang untuk eksplore wisata kota Pempek ini bersama teman-teman.
Akhirnya Main Ke Kampung ARAB KOT PALEMBANG

Salah satu ikon tokoh publik yang terkenal dari kampung Arab Palembang ini adalah ustad Hasbi. Selain emang Dai kondang. Beliau juga pernah membuat film dengan setting berlokasi di kampung Arab Palembang. 

Saya pun penasaran juga, meski sudah menonton filmnye berkali-kali. Tapi melihat secara langsung, pastinya beda. Tentu saja akan mendatangkan sensasi yang beda.

Menuju Kampung Arab Palembang

Untuk sampai ke kampung Arab ini, kita bisa menyeberang langsung membelah sungai Musi dari terminal Benteng Kuto Besak atau di sepanjang pinggiran pasar 16. Ada banyak transportasi air yang bisa kita gunakan. Orang Palembang menyebutnya Ketek. 


Apa itu KETEK

Ketek bagi orang Palembang sejenis kapal kayu yang dijalankan dengan mesin , di bagian tengah terdapat kursi sederhana untuk kita duduk.  Saat berjalan di atas air, kita bisa merasakan air langsung dengan menyentuh dengan tangan langsung. Jika ombak agak tinggi, air bisa masuk ke dalam Ketek, kita bisa kena cipratan dan basah.

Selain Ketek di sepanjang tepian sungai Musi ada juga kapal-kapal yang lebih besar dari ketek dan terbuat tidak hanya dari kayu, tetapi sudah dengan bahan besi, alumunium. Seperti kapal kebanyakan secara umum yang kita kenal.

Satu ketek bisa menampung sekitar 10-15 orang, tergantung besar kecilnya ukuran Ketek. Kita juga bisa menyewa Ketek tersebut untuk perjalan khusus. Misalnya berwisata di ke pulau Kemaro atau ke kampung Arab yang seperti yang akan kami jalani berikut ini.

Lama Perjalanan Menuju Kampung Arab

Dari tepian Benteng Kuto Besak menuju kampung Arab ini memakan waktu sekitar 15-20 menit dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan tersebut, kita bisa melihat ke kiri dan kanan kehidupan manusia air di sepanjang sungai Musi.

Ada begitu banyak objek foto yang bisa kita jepret. Jadi siapakan kamera terbaikmu. Untuk memetik setiap moment kece di sepanjang jalan.

Ada begitu banyak kehidupan unik di sepanjang aliran sungai Musi, mereka sudah bermukim dan melakukan aktivitas tersebut secara turun-temurun dan bertahun-tahun.

Ada banyak kapal yang juga dijadikan tempat tinggal, ada kegiatan mencari ikan, ada pemburu harta karun mereka masuk menyelam mencari harta karun di dasar sungai Musi.aktivitas transportasi, jual beli dan juga aktivitas ehari-hari seperti MCK.

Saya dan teman-teman juag sibuk jeprat sana jepret sini untuk mengambil moment. Untung sudah sarapan, jadi tidak ada yang mabuk sungai.  

Hari ini kami semua kompak menggunakan baju seragam merah dan serba-serbi merah. Saya membawa baju dan jilbab salinan serta kaos kaki, masker, karena sudah pasti bakal ada potensi basahnya.

Sampai di Tepian Kampung Arab

Asal mula kampung Arab Al Munawar tidak lepas dari masa ketika Belanda menduduki Indonesia. Belanda melakukan pendekatan kepada etnis Arab pada tahun 1825. Dari pendekatan tersebut menghasilkan seorang pemimpin yang bernama Ahmad Al-Munawar kemudian diberi pangkat kapten dan wafat tahun 1970.

Ketika kapal kecil kami menepi, lalu kami melewati semacam jalankecil atau jembatan kecil yang terapung menuju ke kampung Arab. 

Di ujung jalan atau jembatan tertulis nama kampung Arab Al Munawar. Lalu ada semacam pendopo khas dengan dinding kayu siap menyambut kami.


Kami pun segera duduk di atas permadani berwana kopi susu dengan motif bunga yang telah di bentang di tengah. Bangunan yang dengan jendela terbuka dan atap yang tidak terlalu tinggi menyerupai bangunan surau atau mushola kecil. 

Keempat dinding kecilnya berwarna putih pudar dengan ukiran kayu yang khas. Ada dinding hexagonal yang terbuat dari kayu sebagai sekat.

Dari luar, orang akan bisa melihat apa saja yang ada di dalam bangunan ini. Saya lupa bertanya, apa nama bangunanya. 

Kampung Arab Al Munawar memiliki rumah-rumah tua yang usianya hingga mencapai 300 tahun dan masih kokoh. Hal tersebut dikarenakan rumah-rumah di kampung Al Munawar terbuat dari kayu dan batu yang didatangkan langsung dari Eropa.


Kedatangan kami disambut oleh hulubalang, lelaki yang duduk di sebelah Jang Ipan. Secara fisik sekilas, emang ada keturunan Arabnya, terlihat meski tipis-tipis.

Di tengah permadani tersedia kopi di dalam ceret berwarna emas, lengkap dengan gelas kecilnya. Siap menunggu kami seruput. Lalu ada kueh khas Arab yang terbuat dari ketan, menemani kami minum kopi.

Semua segera menyerbu kopi dan kueh tanpa sisa. Agaknya perjalanan di atas air membuat kami merasa butuh kafein agar mata tetap bisa melek.


Saya hanya minum sedikit untuk melepas penasaran, karena kebetulan asam urat sedang naik. Jadi tidak dulu minum kopi. 

Tak lama, saya mengajak Mba Dian Nafi teman sekamar saya untuk segera menjelajah sebab matahari sudah mulai mau meninggi dan sepertinya waktu shalat zuhur segera akan tiba.

Tempat pertama kami menjejak adalah rumah yang digunakan di filmnya si habib. Letak rumah ini hanya sekitar 10 meter dari tempat kami berkumpul tadi ke arah kanan jika menghadap ke sungai.


Ciri khas rumah di sini yaitu rumah panggung dengan lantai bawah yang berbahan marmer, dengan motif marmer yang unik menambah kesan tradisional dan juga elegan. Terdapat juga kubah ala turki yang ditempatkan menghadap Sungai Musi untuk menambah kesan Timur Tengah yang kental, sehingga membuat kampung Al Munawar terlihat lebih cantik.

Usai mengambil gambar di rumah tersebut, saya lanjut berjalan ke dalam gang yang terletak di samping tempat kami berkumpul tadi. Namanya jalan gang, tidak begitu luas, tapi agak luas juga jika digunakan berjalan. Muat juga untuk dua motor yang perpapasan serta satu mobil. 


Kami menyusuri jalan tersebut, sampai menuju ke tengah perkampungan. Secara umum, ciri khas kampung Arab di Indonesia itu. Salah satunya adanya area atau ruang publik yang terletak di tengah kampung.

Kami pun sampai di area publik tersebut. Tempatnya lumayan luas dan bersih. Lapangan ini dikelilingi oleh bangunan berbahan utama kayu dengan desain khas rumah panggung. 


Rata-rata ukuran rumahnya besar. Menurut tour guide yang menemani kami. Sebuah rumah bisa ditempati oleh beberapa keluarga. Bisa hingga delapan keluarga. 

Model rumahnya juga kebanyakan bertingkat dengan jendela yang besar-besar. Rata-rata atap rumahnya berbahan genteng. 

Terdapat 8 dari 17 rumah tua di kampung ini yang masuk ke dalam cagar budaya. Guna menjaga keafiran lokal, perawatannya dilakukan secara rutin agar tetap kokoh dan kebersihannya tetap terjaga.


Di kampung ini untuk fasilitas umum juga lumayan lengkap. Seperti sekolahan dan fasilitas kesehatan.

Saat berada di sana, tidak banyak saya jumpai perempuan. Tadinya berharap banget ketemu ama perempuannya lengkap dengan cadar atau pakaian khas Arabnya.

Kalo anak-anaknya banyak bermain dan berseliweran, dengan menggunakan jilbab. Untuk pakaian menyesuaikan seperti keadaan kita sehari-hari. 


Oh, ya di antara kami tadi ada yang menggunakan celana pendek, jadi diberikan pinjaman kain sarung ama hulubalangnya. Jadi ketika berada di sini, tidak boleh berpakaian pendek.

Menurut informasi tour guide, di sini ada sekitar 600 lebih keluarga yang bermukim di sini. 

Kami tidak lama berada di kampung Arab Al Munawar ini, karena hari sudah siang waktunya untuk makan siang.

Kami kembali menyusuri gang sempit tadi, sembari tetap mencari spot yang cantik untuk berfoto. 

Saya pun penasaran ingin melihat kondisi alam rumah-rumah yang ada di sini sebab sepanjang kami lewat tidak ada rumah yang pintunya terbuka sehingga bisa terlihat kondisi dalamnya.

Kami bergegas berjalan kembali menyusuri gang sempit yang kami lalui tadi, balik lagi menuju ke dermaga kecil dimana kapal kami bertengger.

Saya merasakan baru sebentar menjejak di kampung Arab Al Munawar ini.Ingin rasanya datang kembali bersama keluarga sehingga bisa eksplore wisata dan sosial kemasyarakatannya lebih banyak lagi.

Namun, kunjungan sesaat ini ini sudah mengurangi rasa penasaran saya. Karena keterbatasan waktu, jadi memang harus segera melanjutkan perjalanan.

Apalagi panggilan dari dalam yang tidak bisa dihindari,waktunya makan siang. Kali ini kami akan makandi warung terapungnya Mbok War di dekat pasar 16.

Mendengar namanya saja bikin penasaran, jadi ingin cepat-cepat sampai di sana. 

Sampai jumpa lagi ya dari kampung Arab Al Munawar Palembang.